Jakarta – Persada Post | Lomba ‘Pical Lele’ yang digagas oleh H. Yobana Samial, SH, M.Kn selaku Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Persatuan Keluarga Daerah Piaman (PKDP) DKI Jakarta, ternyata cukup kontroversial.
Banyak yang mempertanyakan jenis lomba tersebut, sebab masakan berbahan lele, bukan jenis masakan Minang dan lebih identik dengan masakan Jawa yang cukup dikenal, yakni; ‘Pecel Lele’.
“Ada beberapa orang yang bertanya kepada saya, bukankah masih banyak makanan khas Minang yang perlu diangkat ke permukaan? Apa perlunya Lomba Pical Lele dengan PKDP dan itu tidak ada hubungannya. Saya pun memberikan jawaban yang mendasar terkait hal itu; sebenarnya Pical Lele dengan Pecel Lele adalah berbeda. Pecel adalah masakan khas Jawa, sedangkan Pical adalah masakan Piaman,” ujar Yobana Samial, Rabu (26/10/2022) di Jakarta.
“Sekarang kita masih menemui di Pasar Aur Malintang, Sungai Geringging, Sungai Limau, Gasan Gadang dan tempat lain di Piaman makanan yang bernama pical. Dan, pical adalah gabungan beberapa bahan, yaitu; serutan pepaya muda, rebusan paku, lobak dan siraman air kacang – gosengan kelapa dan kadang kala diberi mie di atasnya,” imbuh Yobana.
Lebih lanjut Yobana Samial menjelaskan, bahwa pical merupakan sayur bagi kita ketika makan dengan ikan atau daging. Salah satu ikannya adalah limbek alias lele (kita gunakan karena aspek bisnis). Dan unsur dari pical, termasuk didalamnya seperti anyang mentimun, kacang panjang, toge dan pucuk ubi atau lainnya (urap). Masakan Lele-pun bervariasi, seperti lele goreng, bakar, rendang, sop, gulai padeh, asam padeh, gulai santan dan lainnya.
Asal Pemikiran Lomba Lele
Menurut Yobana Samial, Perlombaan Pical Lele hanya sebagai media pemberitahuan kepada masyarakat Piaman (Minang), bahwa Pical Lele adalah makanan khas Minang. Dan, belum banyak yang tahu, makanya perlu diberitahu melalui lomba tersebut.
“Sebenarnya, bukan hanya sekedar pemberitahuan itu, tetapi pada dasarnya menyelamatkan masakan Padang (Minang). Ada apa dengan masakan Padang? Orang Minang selaku pengusaha dan pemilik rumah makan telah banyak yang bangkrut. Faktanya, berdasarkan pengamatan saya di Jawa, sampai dipelosok- pelosok, banyak pengusaha Rumah Makan Padang pemiliknya orang non Minang. Mirisnya lagi, di Jakarta Utara 70% Rumah Makan Padang selevel Warteg (Warung Tegal) bukan lagi dikelola dan dimiliki orang Minang. Tinggal 30% adalah rumah makan level menengah dan besar saja dan yang kecil-kecil sudah dikuasai oleh orang non Minang,” beber Yobana Samial.
“Awalnya, 100% semuanya orang Minang. Mereka bangrut dan kalah bersaing dengan orang non Minang. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan?. Dulu buka Rumah Makan Padang satu, kemudian menjadi 2,3,4 dan seterusnya. Sekarang, buka satu, kemudian bangrut. Lebih mirisnya lagi, tempat usahanya digantikan oleh orang non Minang. Mungkinkah rumah makan Padang yang dimiliki orang Minang suatu saat akan menjadi kenangan?, kita yang menjawabnya,” tegas Yobana Samial.
Apa Penyebabnya?
Yobana Samial pun menjelaskan dengan detail; bahwa, mereka (pedagang Rumah Makan Padang.red) kalah bersaing dan tergerus oleh Warteg yang buka 24 jam. Diperparah, Warung Pecel Lele yang selalu menghidangkan makanan yang masih segar (hangat), pada sore dan malam hari, hal itu sangat diminati pembeli.
Sementara itu, Rumah Makan Padang yang dimiliki oleh orang non Minang buka 24 jam. Dan, secara sporadis dimasa transisi kebangkrutan orang Minang itu, orang non Minang mengisi kekosongan itu dengan mengusahakan dan memiliki Rumah Makan Padang yang bangrut tersebut.
“Kebanyakan diantara pengusaha yang bangrut itu menyambung hidupnya dengan menjadi Ojek online atau pulang kampung, kemudian menjadi kuli. Tentu, tidak itu saja yang menyebabkan kebangkrutan, lainnya adalah sikap malas (baru buka jam 11 siang). Maka, kehadiran Pecel Lele pada sore dan malam hari juga berperan, orang lebih memilih makan Pecel Lele pada sore/ malam hari, karena masakan Padang dianggap sudah dingin; image harga mahal; pelayanan kurang bagus, penampilan penjualnya dan rumah makan Padang yang kusut (tidak didekorasi dengan indah); tidak bersih dan tidak ada yang membina serta banyak lagi,” ujar Yobana Samial.
Apa Solusinya?
Apakah kondisi itu kita biarkan saja?. Perlu diketahui, makanan (Masakan Padang/ Minang) yang telah mendunia, tetapi tidak lagi suatu saat diusahakan dan dimiliki oleh orang Minang.
“Tentu, kita tidak akan membiarkannya. Mari kita selamatkan Rumah Makan Padang dan termasuk orang yang mengelolanya. Tidak ada jalan lain, salah satu kiat dan solusi strategis adalah; Masuk benar dalam bisnis makanan berbahan lele juga, dengan kekhasannya, yaitu Pical Lele, bila perlu hadir disamping (berdekatan) Pecel Lele itu,” kata Yobana Samial.
“Masuk dalam bisnisnya; seperti Warteg, namun makanan yang tersedia adalah masakan Padang dan buka 24 jam. Bila perlu, hadir berdampingan dengan Warteg. Untuk itu, perlu diorganisasikan dalam sebuah Perkumpulan Pengusaha Rumah Makan Padang Piaman Indonesia,” bebernya.
“Sehingga, Rumah Makan Padang memiliki sistem dan Standart of Procedur (SOP), seperti diatur soal rasanya; penampilan penjual atau pelayannya dan warungnya; harga, kebersihan, edukasi, studi kelayakan, permodalan, suplay kebutuhan dan sebagainya. Maka, Rumah Makan Padang akan lebih baik dan yang lebih penting dikelola serta dimiliki oleh orang Minang. Tentu tidak sekedar itu, tetapi kita dapat mengetahui rumah makan Padang asli (Minang) dan tidak asli (non Minang), dengan menempelkan sebuah tanda seperti sticker atau merk dagang yang sudah ditentukan,” ungkapnya.
“Salah satu langkah strategis adalah melakukan pendaftaran beberapa merk (tahap awal), yaitu: Warung Lele (Warle) dengan merk Pical Lele Piaman, Warung Nasi (Warnas) dengan merk Ampera Piaman, Warung Bakar Ikan Uniang (Waribu) dengan merk Ikan Bakar Piaman, Warung Minuman (Warmin) dengan merk Teh Talua Piaman Special (Obat Segala Penyakit),” kata Yobana Samial.
“Insyaa Allah, akan diangkat yang lainnya. Jadi, berbagai potensi akan dapat kita peroleh dengan pengorganisasian ini, antara lain; suplay (bahan baku makanan), demand, SDM, zakat dan lainnya akan dilakukan oleh orang Piaman. Slogan kita: Dari, Oleh dan Untuk Piaman,” jelasnya.
“Kelak, yang menggunakan merk akan dikenakan zakat sebesar 2,5%/hari, dari keuntungan bersih dan dihitung sendiri (Hanya Allah SWT, sebagai saksi). Untuk itu disiapkan sistemnya,” ungkapnya.
“Kita akan dorong juga dunsanak (saudara.red) perantau asal Kabupaten Agam, Kabupaten dan Kota Solok, Bukittinggi dan yang lainnya untuk ke arah itu. Kelak akan diorganisasi pada tingkat Forum Komunikasi Penguasa Minang,” tutup Yobana Samial. (Rico Adi Utama Dato’ Panglima)