Sitti Dahlia Azis T, penulis artikel. (Foto: Dok. RPG Networks)

PENDIDIKAN karakter tetap didengungkan dan memang selalu ada. Demikian pula di sekolah kami SMAN 3 Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan, dilakukan baik oleh guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) maupun Bimbingan dan Konseling. Pembinaan dari guru kami cukup. Setiap ada materi dari mata pelajaran ini tentu saja terselip pesan moral dan mengajarkan karakter.

 

Dimana, Pendidikan Agama Islam memberikan syariah tentang akhlak. Pendidikan Kewarganegaraan mengajarkan tentang karakter dan moral yang bernilai Pancasila. Sedangkan, mata pelajaran bimbingan dan konseling memberikan bimbingan dan pengayaan kepada siswa yang berprestasi. Kemudian, konseling memberikan keluhan kepada siswa yang mengalami masalah baik dalam keluarga maupun di lingkungan masyarakat.

 

Tujuan dari akhlak dalam Islam adalah pada dasarnya agar setiap muslim berbudi pekerti dan bertingkah laku baik dan mulia, sesuai dengan ajaran Islam. Akhlak bertujuan untuk membentuk pribadi muslim yang luhur dan mulia.

 

Seorang muslim yang berakhlak mulia senantiasa bertingkah laku yang terpuji baik ketika berhubungan dengan Allah SWT; dengan sesama manusia, serta dengan alam lingkungan.  Secara umum tujuan akhlak adalah untuk mencapai kebaikan dan keutamaan manusia. Upaya guru memang terbatas karena jumlah jam tatap muka mereka bersebelahan dengan mata pelajaran lain.

 

Kenyataannya, penerapan ilmu yang diperoleh di bangku sekolah setelah kami baur dengan keluarga dan jarang diterapkan, bahkan soal karakter atau adab nyaris ditepikan.

 

Walaupun sebenarnya mata pelajaran pendidikan karakter itu diberikan oleh beberapa guru mata pelajaran dan bersifat global (umum) kurang pendidikan practice dan kajian masalah yang terjadi di sekitar kita.

 

Sementara itu, ilmu yang bersifat kearifan lokal, tak terasa terkikis akibat adanya pengaruh globalisasi dan perkembangan IPTEK (ilmu pengetahuan dan tekhnologi). Yang menjadi sahabat pelajar sekarang  adalah Android dengan game online dan drama Korea.

 

Adab ketimuran, terutama di lingkungan keluarga mulai pudar seperti “Mappattabe”. Misalnya sikap santun apabila berpapasan atau berbicara dengan orang yang dituakan atau dihormati. Sungkan (Jawa) dengan menggunakan bahasa tubuh (body language).

 

Tradisi “Mappattabe” merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat bugis yang menggambarkan adat sopan santun atau tingkah laku yang berarti “permisi”.

 

Sebagai gambaran, tradisi ini dilakukan untuk memberikan rasa hormat terhadap orang yang lebih tua, misalnya ketika berjalan di depan orang tua, maka diucapkanlah kata “tabe” sebagai permintaan maaf, dibarengi dengan sikap tunduk dan menggerakkan tangan ke bawah bahkan hingga badan membungkuk.

 

Perilaku seperti itulah yang dijadikan sebagai salah satu indikator oleh masyarakat Bugis. Sehingga seorang anak dikatakan memiliki sopan santun.

 

Seorang anak/ yang lebih muda akan mengulurkan tangan kanan untuk melewati tempat orang yang dituakan, bisa pula mengulurkan tangan sebagai isyarat ingin bersalaman sambil sedikit membungkuk agar tubuh lebih rendah dari orang yang dituakan atau dihormati. Bahasa tubuh ini ditunjukkan sebagai sikap santun dari anak (junior) kepada yang dituakan (senior).

 

Namun, pada zaman sekarang ini seorang anak yang lebih muda sudah jarang kita temui mengulurkan tangan kepada orang yang lebih tua terutama pada guru.

 

Bahkan ada yang ketika berpapasan dengan guru, mereka hanya diam membisu seakan tidak mengenal guru mereka sendiri, sampai ada juga yang ketika berpapasan dengan guru, mereka memanggil dengan sebutan “hallo ces”.

 

Kelakuan tersebut sungguh sangat ter-la-lu. Dan, sikap membungkukkan badan seorang anak muda ketika berjalan didepan orang tua pun sudah jarang ditemui, gaya berjalan mereka sangatlah slonong boy/ tidak sopan.

 

Anak – anak sampai orang dewasa saat ini, sudah jarang menggunakan ‘tabe’ karena mereka merasa bahwa “Mappattabe” sudah kuno, tidak gaul jika menggunakan kata ‘tabe’.

 

Bentuk sapaan seperti permisi, halo, hai, menjadi sapaan yang bisa terjadi dalam bentuk keakraban mereka. Tanggapan anak muda sekarang “Mappattabe” tidak di indahkan lagi seolah-olah itu adalah sebuah kebiasaan yang harus ditinggalkan. Sapaan halo, hai sembari mengangkat tangan yang berkembang menjadi sebuah kebiasaan dan di anggap lebih baik.

 

Ya, zaman sudah berubah. Tekhnologi semakin canggih dan nilai leluhur mulai digeser oleh membaurnya budaya timur dan barat. Jarang sekali kita melihat gerak tubuh yang santun seperti “Mappattabe”.

 

Maka, karenanya dibutuhkan perubahan mindset (dasar pemikiran) bahwa yang glamour tidak selamanya berdampak positif. Para yunior masih butuh petuah dari senior. Senior dalam hal ini adalah: kakek/ nenek, orang tua, para pakar budaya dan orang bijak.

 

Menyikapi kondisi itu dan letak geografis negara kita ditambah dengan kemampuan penduduk mengakses informasi lewat media online, maka perlu kiranya adanya sifat keteladanan dari yang senior dan pembiasaan kepada yunior.

 

Hal itu, terutama dimulai dari lingkungan keluarga, lalu berlanjut penerapan disiplin di sekolah serta kemampuan berinteraksi dengan baik di lingkungan masyarakat (pergaulan).


*). Penulis: Sitti Dahlia Aziz T

Please follow and like us:

By Redaksi

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial