Fitri Nora, SE, MM, Ketua DPRD Kota Pariaman. (Foto: DFN)

SEBAGAI perempuan satu – satunya yang terpilih di Pileg (Pemilihan Legislatif) 2019 di Kota Pariaman, dengan perolehan suara terbanyak dari jumlah 20 orang Anggota DPRD Kota Pariaman, adalah seharusnya menjadi prestasi bagi Fitri Nora, SE, MM di dunia perpolitikan, khususnya di Kota Pariaman, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar).

 

Selain itu, Fitri Nora beserta sang suami, Fadli (Kepala Bappeda Kota Pariaman), tidak terlepas dari sejarah berdirinya Kota Pariaman pada Tanggal 2 Juli 2002 berdasarkan Undang-undang No. 12 Tahun 2002, sayang saat itu memiliki luas wilayah sekitar 73,36 Km².

 

Lelah, letih dan pengorban Fitri Nora dan suami serta rekan – rekan aktivis perempuan Kota Pariaman dan juga para pendiri lainnya, sehingga Kota Pariaman seperti saat ini, tampaknya tidak lagi menjadi perhatian.

 

Kekuasaan dan uang dapat menggelapkan mata. Sehingga, mengakibatkan terjadinya dugaan politik transaksional di Kota Tabuik (sebutan Kota Pariaman). Karena, jika dinilai secara akal sehat, Fitri Nora tidak memiliki kesalahan apapun, sehingga ia harus diganti dari posisinya sebagai Ketua DPRD Kota Pariaman.

 

Kemana nurani yang lainnya, ketika seorang perempuan yang sedang berjuang untuk orang banyak di kancah politik, begitu dengan mudahnya di depak dari amanahnya, yang diraih dengan tidak mudah dan penuh perjuangan itu.

 

Sebagian dari 19 orang Anggota DPRD Kota Pariaman yang saat ini ikut – ikutan menyetujui pergantian itu, mestinya harus berpikir lebih sehat lagi. Karena, mendepak/ melengserkan Fitri Nora, itu sama saja tidak mengharagai hak politiknya dan kesamaan gender di dunia politik.

 

Belum lagi, sebagai PAD (Putera/ Puteri Asli Daerah), sekaligus sebagai pendiri Kota Pariaman, harusnya Fitri Nora dapat dibanggakan, karena merupakan asset SDM Kota Pariaman, yang belum tentu dapat muncul lagi perempuan hebat seperti sosok Fitri Nora.

 

Kondisi ini harus menjadi perhatian serius bagi Niniak Mamak, Cadiak Pandai, Alim Ulama dan Bundo Kanduang Kota Pariaman. Jangan sampai mencoreng arang di kening serta menghilang peranan pelaku sejarah, dikarenakan segelintir orang yang hanya mungkin berpikir untuk politik transaksional dan pragmatis belaka. (*)  


Oleh: Rico AU Dato Panglima (Pemimpin Redaksi Persada Post)

Please follow and like us:

By Redaksi

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial