Eka Putra dan ilustrasi. (Foto: Berbagai sumber)

KEBEBASAN berekspresi adalah hak semua orang di NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Salah satu hak asasi manusia yang dijamin oleh negara adalah menyampaikan pendapat/ berekspresi sedemikian rupa di muka umum, baik melalui tulisan, lisan dan audio visual (sesuai trend perkembangan zaman).

 

Kebebasan itu diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28F, yang berbunyi; bahwa negara menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

 

Setidaknya, kebebasan itu memiliki 4 salurannya, yakni: jurnalisme warga, memakai meme, tagar, infografis kebebasan Pers, menulis status di media sosial.

 

Tetapi, kebebasan itu tidak pula diartikan berekspresi dan berpendapat seenaknya saja. Sebab, tentunya juga harus memperhatikan beberapa situasi, dimana terdapat ucapan dan pendapat itu dibatasi secara sah di hadapan hukum, seperti jika ujaran atau ekspresi melanggar hak orang lain, mendukung kebencian dan memicu diskriminasi atau kekerasan.

 

Salah-satu kebebasan berekpresi yang terpantau intensif oleh penulis adalah di daerah Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Beberapa orang di daerah itu, bisa dikatakan cukup aktif mengomentari terkait Eka Putra,SE, yang saat ini memimpin, selaku Bupati Tanah Datar aktif.

 

Dari pantauan itu, terkesan ada pula yang seakan sedang melakukan playing victim, yakni kondisi yang terjadi saat seseorang merasa dirinya merupakan korban dari hal-hal buruk yang ia alami. Yaitu, ia merasa terzolimi dan/ atau tidak diberikan keuntungan dari kepemimpinan Eka Putra tersebut, utamanya tentu salah-satunya keuntungan pribadi.

 

Sehingga, pendapat yang disampaikan dalam mengkoreksi dan mengomentari kepemimpinan Eka Putra itu, terkesan pula berada di area abu-abu, yaitu; antara mengkritik atau membully?.

 

Apabila dilihat dari segi pengertiannya, kritik adalah proses analisis dan evaluasi terhadap sesuatu, dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan.

 

Dan, kritik berasal dari bahasa Yunani; kritikos yang berarti ‘dapat didiskusikan’. Jika ekspresi pendapat yang disampaikan tersebut malah menimbulkan kebencian dari orang yang dikritik, maka tentunya tidak akan terjadi diskusi produktif dari kedua belah pihak.

 

Sedangkan, mem-bully/ bullying, memiliki arti yang berbeda dengan mengkritik, yaitu; perilaku agresif yang berulang, disengaja, dan memiliki tujuan untuk menyakiti, merendahkan, atau mendominasi orang lain secara emosional, fisik, atau mental. Tindakan bullying bisa terjadi dalam berbagai konteks, seperti di sekolah, tempat kerja, lingkungan online (cyberbullying), atau di tempat umum.

 

Kondisi abu-abu inilah yang dihadapi oleh seorang Eka Putra. Akan tetapi, Eka Putra, tampaknya bisa dianggap memiliki pribadi yang kuat dan piawai dalam menghadapi opini umum. Ia tidak beraksi dengan berbagai pendapat yang datang kepada dirinya itu, seakan tidak memperdulikannya dan tetap melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai seorang pemimpin di daerah itu. Bisa saja, sikap diam Eka Putra ini menyembunyikan makna yang sangat mendalam dan mempersiapkan strategi matang untuk membalas kritik dan bully-an itu, hingga pembalasan telak datang secara tiba-tiba. Entahlah?. (*)


*). Oleh: Rico AU Dato’ Panglima

Please follow and like us:

By Redaksi

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial